Tak pernah terbayangkan bahwa dia yang akan mengisi
ruang kosong itu. Selama tiga bulan kita bertemu, tak pernah ada kata sapa di
setiap Selasa pagi. Hanya tahu wajah tanpa peduli akan identitas. Berbagai
pertemuan perkuliahan dilalui tanpa suatu hal yang berarti. Hanya mendapat
secerca ilmu dan membubuhkan tanda tangan absen pertanda hadir di setiap akhir
perkuliahan.
Suatu saat, kami bertemu di lantai paling atas. Dia
sibuk mengambil gambar bersama temannya, sementara aku melonjak kegirangan
ketika keluar lift, persis seperti
sepupuku yang baru berhasil belajar berjalan. Sialnya, langkahku terhenti
dengan sebuah kalimat “Ini nih yang bikin skripnya. Nyusahin aja.” Aku menatap
ragu.
“Oh! Jadi lu yang bikin skrip. Ngga bisa lebih susah
lagi?” tanyanya.
“Emang kenapa? Ngga suka. Salah sendiri baru
dikerjain H-1,” balasku sambil pergi meninggalkan mereka.
Hari berikutnya adalah hari presentasi. Semua orang
berlomba menampilkan karya terbaiknya depan dosen yang menurutku kelewat nyentrik. Dia, cowo yang ngomel tentang
skripku kemarin, maju dengan laptopnya. Menampilkan dua video sekaligus.
Miliknya dan milik temannya. Kesan kagum langsung tergores di pikiranku ketika credit title telah muncul. Dia memang
pandai membuat karya visual semacam itu.
“Itu skripnya siapa?” tanya sang dosen.
Tanpa permisi dia menembakkan jarinya tepat mengenai
mataku.
“Itu tuh yang pake kacamata. Siapa namanya?” katanya
di depan kelas.
“Oh belom saling kenal. Kenalan dulu dong!” kata
sang dosen yang di sambut dengan sorakan satu kelas.
Kami berdua sama-sama enggan memulai perkenalan itu
di kelas. Aku masih merasa tidak terima dia mengomeliku kemarin.
Kelas pun usai. Namun, siapa sangka semua ini ternyata
baru saja mulai, pada perkenalan kami secara langsung di depan koperasi kampus.
Perkenalan itu seakan membukakan sebuah jalan bagi kami akan sebuah peristiwa
besar. Peristiwa yang akan membawa perasaan kami jatuh ke dalamnya.
Kupikir hanya perasaan sekilas lewat, namun semakin
nyata ketika dia memanggil namaku dalam sebuah instant messaging. Percakapan maya itu terus bergulir dengan
sendirinya. Berawal hanya dari sekedar menanyakan tugas kuliah hingga akhirnya
kami menceritakan kisah hidup kami masing-masing. Bahkan kami mampu
menertawakan kebodohan kami masing-masing dalam pesan itu.
Suatu hari ia menemaniku membeli peralatan kuliah
yang menurutku cukup konyol. Ia menawarkan diri untuk menemaniku membeli kertas
yang besarnya mampu membungkus tubuhku di kala dingin menyapa. Sayangnya, tawaran
itu tidak gratis. Aku lupa bahwa tak ada yang diberikan secara cuma-cuma di
dunia ini. Aku harus menemaninya makan siang sebagai bayarannya. Tanpa kusadari,
aku sudah mulai masuk ke dalam kehidupannya. Aku mulai tahu siapa dirinya dari
setiap rangkaian kata yang keluar dari mulutnya.
Kami tak berhenti sampai di situ. Setiap pertemuan kami
berakhir, selalu berlanjut dalam obrolan maya sepanjang malam. Hingga pada
pertemuan berikutnya, ia membawaku di atas kecepatan angin. Membuatku mendaratkan
pukulanku tepat di atas kepalanya. Menutupi segala kekurangan dan kelemahan yang
kupunya. Seketika itu juga badanku lemas, namun aku berusaha menutupinya agar tumpahan
darah dari hidungku, tak jatuh di kemeja cokelatnya.
Kemudian semua berjalan begitu saja, seperti tanpa
ada masalah. Aku bisa merasakan kasih sayang yang luar biasa darinya. Terutama di
saat ia mendaratkan ciumannya tepat di kepalaku ketika aku tertidur lelap di
kamar kosnya. Itu membuatku nyaman. Sangat nyaman. Meski dalam hati masih ada
keraguan yang tak mampu kuselesaikan.
Tak pernah
terbayang dalam pikiranku, aku akan mati di tangannya. Aku yang sedang tertidur
pulas di kamarnya, mendadak merasakan sesak yang sangat menyakitkan di
paru-paruku. Aku sangat sulit bernafas. Mungkin ini yang membuatnya panik dan
menghentikan permainannya di komputer.
“Uhuk! Lu ngapain sih? Uhuk!” tanyaku di tengah
sesakku.
“Ngrokok,” jawabnya dengan wajah ketakutan.
Tak habis pikir aku dengannya. Bisa-bisanya ia
membakar tembakau di kamar kecil tak berventilasi itu. Ia pun buru-buru
mematikan asap rokoknya yang akan membuatku semakin sesak jika terlalu lama
dibiarkan terbakar. Ia panik. Tak tahu harus berbuat apa. Aku pun juga masih
terus berusaha menutupi segalanya. Aku takut semuanya terbongkar. Aku takut dia
tahu semuanya. Semua rahasia yang kujaga darinya. Aku takut kasih sayangnya
tidak tulus lagi. Sebisa mungkin kutahan rasa sakitku.
Kepanikannya itu membawaku pada pelukannya. Pelukan
yang sangat erat. Pelukan yang khawatir akan keadaanku. Pelukan yang sekiranya
bisa membuatku jauh lebih tenang. Pelukan yang membuatku semakin sesak. Tapi aku
menikmatinya.
Hingga di pertemuan terakhir sebelum libur panjang,
dia masih terlihat sama. Masih memelukku seakan tak ingin lepas. Tapi kali ini,
aku merasakan pelukan yang berbeda. Pelukan yang begitu erat dan lama. Pelukan
seakan ia tidak ingin kehilangan aku. Tapi tak pernah terpikir bagiku, inilah
pelukan perpisahan. Ini menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Benar-benar
yang terakhir.
Mendadak ia menghilang. Tanpa kabar tanpa jejak.
Sulit bagiku untuk mencarinya. Membuatku khawatir akan keadaannya. Terlebih ia
sempat bilang ia akan mengadakan perjalanan jauh. Apakah ini pertanda? Aku
takut kehilangannya. Aku tidak sanggup hidup tanpa dirinya. Ini terlalu cepat
bagiku. Perasaan ini sudah terlalu dalam untuk merasakan sakit karena
kehilangan dirinya.
Akhirnya nafas lega bisa kuhembuskan setelah kulihat
ia mengunggah fotonya di media sosial. Sungguh aku lega, paling tidak kutahu ia
masih hidup. Tapi muncul pula tanda tanya besar di hatiku. Kenapa dia tidak
mencoba menghubungi aku? Apa ia tidak kangen? Ada apa ini? Aku benar-benar
takut keraguanku yang dulu akan menjadi kenyataan. Kuingat lagi pelukannya yang
terakhir. Aku tidak melihat gerak-gerik ia akan mempermainkan aku. Justru
ketulusan yang aku lihat. Terlalu kontras bagiku antara apa yang terjadi di
saat terakhir kali bertemu dengan apa yang terjadi saat ini. Ada apa dengan
dirinya? Sejahat inikah dia padaku? Membuat perasaanku jatuh terlalu dalam dan
membiarkan aku tenggelam di dalamnya.
Arahku semakin tak menentu. Sungguh perasaan ini
benar-benar menyiksa batinku. Menahan segala rasa penasaran yang tidak kunjung
terjawab. Aku pun marah pada diriku sendiri karena telalu bodoh untuk memiliki
perasaan sedalam ini dengan seseorang baru tiga minggu kukenal.
Aku tak mampu lagi membendung perasaan yang
membuatku mengidap insomnia, hingga akhirnya aku menceritakan keluh kesahku
tentangnya kepada sahabatnya. Tak kuduga, sahabatnya pun bingung dengan sikapnya yang berubah 180 derajat. Tak pernah ia berperilaku seperti itu pada seorang wanita. Kami pun bertingkah bak detektif. Merangkai berbagai clue yang kami temukan.
Yang sekiranya mampu menuntunku pada
sebuah alasan kenapa dia tiba-tiba menghilang. Kenapa dia tiba-tiba melangkah
mundur dan memilih melepaskan aku.
Dari berbagai kata kunci yang ada, terbentuk sebuah cerita
yang membawaku pada peristiwa dimana aku mendaratkan pukulanku di atas
kepalanya. Pertemuan kedua.
Mungkin dia marah ketika itu tapi tidak diungkapkan
dengan semestinya. Masih jelas di ingatanku, dia justru memeluk dan menciumku
pertanda sayang di kamar kecilnya. Aku pun bisa merasakan kasih sayang itu.
Tulus. Sangat tulus. Tapi siapa sangka ternyata ia lebih memilih mundur
perlahan.
Baginya kepala adalah segalanya. Tidak ada seorang
pun yang boleh menyentuh bahkan memukul kepalanya. Itu akan sangat menghinanya.
Dan itulah yang menjadi prinsip hidupnya selama ini. Konyolnya, aku
melanggarnya. Melukai perasaannya yang membuat ia akhirnya memilih mundur dan
melepaskan aku.
Aku pun memukulnya bukan tanpa alasan. Penyakit ini
alasannya. Sedari SMA aku mengidap penyakit yang sebenarnya tak bisa
disembuhkan. Aku memiliki kelemahan pada jantung dan anemia tingkat akut.
Dokter telah berupaya sebisa mungkin, namun aku tetap tidak bisa sembuh total.
Dengan membawaku pergi di atas kecepatan angin, bisa membuat penyakit ini
muncul seketika.
Aku tak ingin ia tahu. Aku hanya ingin ia
mencintaiku apa adanya, bukan karena kasihan. Aku memang lemah tapi aku tidak
butuh belas kasihan. Pukulan itu cukup membuatku menutupi penyakitku tapi sekaligus
membuatnya berhenti memilikku.
Tetap saja, bagiku ini konyol. Jatuh cinta dalam
waktu yang begitu singkat dan dilepaskan dengan alasan yang tersirat.
Kupastikan ia tak akan pernah siapa aku sebenarnya, apa yang terjadi denganku.
Karena memang lebih baik begitu. Kurasa, ia tahu ataupun tidak, tidak akan
membuat keadaan berubah. Aku mencintainya. Dia mencintaiku. Tapi dia bukan untukku dan aku pun bukan untuknya.
- V.A.D-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar