background

Selasa, 10 Februari 2015

SEKILAS MEMBEKAS

Tak pernah terbayangkan bahwa dia yang akan mengisi ruang kosong itu. Selama tiga bulan kita bertemu, tak pernah ada kata sapa di setiap Selasa pagi. Hanya tahu wajah tanpa peduli akan identitas. Berbagai pertemuan perkuliahan dilalui tanpa suatu hal yang berarti. Hanya mendapat secerca ilmu dan membubuhkan tanda tangan absen pertanda hadir di setiap akhir perkuliahan.
Suatu saat, kami bertemu di lantai paling atas. Dia sibuk mengambil gambar bersama temannya, sementara aku melonjak kegirangan ketika keluar lift, persis seperti sepupuku yang baru berhasil belajar berjalan. Sialnya, langkahku terhenti dengan sebuah kalimat “Ini nih yang bikin skripnya. Nyusahin aja.” Aku menatap ragu.
“Oh! Jadi lu yang bikin skrip. Ngga bisa lebih susah lagi?” tanyanya.
“Emang kenapa? Ngga suka. Salah sendiri baru dikerjain H-1,” balasku sambil pergi meninggalkan mereka.
Hari berikutnya adalah hari presentasi. Semua orang berlomba menampilkan karya terbaiknya depan dosen yang menurutku kelewat nyentrik. Dia, cowo yang ngomel tentang skripku kemarin, maju dengan laptopnya. Menampilkan dua video sekaligus. Miliknya dan milik temannya. Kesan kagum langsung tergores di pikiranku ketika credit title telah muncul. Dia memang pandai membuat karya visual semacam itu.
“Itu skripnya siapa?” tanya sang dosen.
Tanpa permisi dia menembakkan jarinya tepat mengenai mataku.
“Itu tuh yang pake kacamata. Siapa namanya?” katanya di depan kelas.
“Oh belom saling kenal. Kenalan dulu dong!” kata sang dosen yang di sambut dengan sorakan satu kelas.
Kami berdua sama-sama enggan memulai perkenalan itu di kelas. Aku masih merasa tidak terima dia mengomeliku kemarin.
Kelas pun usai. Namun, siapa sangka semua ini ternyata baru saja mulai, pada perkenalan kami secara langsung di depan koperasi kampus. Perkenalan itu seakan membukakan sebuah jalan bagi kami akan sebuah peristiwa besar. Peristiwa yang akan membawa perasaan kami jatuh ke dalamnya.
Kupikir hanya perasaan sekilas lewat, namun semakin nyata ketika dia memanggil namaku dalam sebuah instant messaging. Percakapan maya itu terus bergulir dengan sendirinya. Berawal hanya dari sekedar menanyakan tugas kuliah hingga akhirnya kami menceritakan kisah hidup kami masing-masing. Bahkan kami mampu menertawakan kebodohan kami masing-masing dalam pesan itu.
Suatu hari ia menemaniku membeli peralatan kuliah yang menurutku cukup konyol. Ia menawarkan diri untuk menemaniku membeli kertas yang besarnya mampu membungkus tubuhku di kala dingin menyapa. Sayangnya, tawaran itu tidak gratis. Aku lupa bahwa tak ada yang diberikan secara cuma-cuma di dunia ini. Aku harus menemaninya makan siang sebagai bayarannya. Tanpa kusadari, aku sudah mulai masuk ke dalam kehidupannya. Aku mulai tahu siapa dirinya dari setiap rangkaian kata yang keluar dari mulutnya.
Kami tak berhenti sampai di situ. Setiap pertemuan kami berakhir, selalu berlanjut dalam obrolan maya sepanjang malam. Hingga pada pertemuan berikutnya, ia membawaku di atas kecepatan angin. Membuatku mendaratkan pukulanku tepat di atas kepalanya. Menutupi segala kekurangan dan kelemahan yang kupunya. Seketika itu juga badanku lemas, namun aku berusaha menutupinya agar tumpahan darah dari hidungku, tak jatuh di kemeja cokelatnya.
Kemudian semua berjalan begitu saja, seperti tanpa ada masalah. Aku bisa merasakan kasih sayang yang luar biasa darinya. Terutama di saat ia mendaratkan ciumannya tepat di kepalaku ketika aku tertidur lelap di kamar kosnya. Itu membuatku nyaman. Sangat nyaman. Meski dalam hati masih ada keraguan yang tak mampu kuselesaikan.
 Tak pernah terbayang dalam pikiranku, aku akan mati di tangannya. Aku yang sedang tertidur pulas di kamarnya, mendadak merasakan sesak yang sangat menyakitkan di paru-paruku. Aku sangat sulit bernafas. Mungkin ini yang membuatnya panik dan menghentikan permainannya di komputer.
“Uhuk! Lu ngapain sih? Uhuk!” tanyaku di tengah sesakku.
“Ngrokok,” jawabnya dengan wajah ketakutan.
Tak habis pikir aku dengannya. Bisa-bisanya ia membakar tembakau di kamar kecil tak berventilasi itu. Ia pun buru-buru mematikan asap rokoknya yang akan membuatku semakin sesak jika terlalu lama dibiarkan terbakar. Ia panik. Tak tahu harus berbuat apa. Aku pun juga masih terus berusaha menutupi segalanya. Aku takut semuanya terbongkar. Aku takut dia tahu semuanya. Semua rahasia yang kujaga darinya. Aku takut kasih sayangnya tidak tulus lagi. Sebisa mungkin kutahan rasa sakitku.
Kepanikannya itu membawaku pada pelukannya. Pelukan yang sangat erat. Pelukan yang khawatir akan keadaanku. Pelukan yang sekiranya bisa membuatku jauh lebih tenang. Pelukan yang membuatku semakin sesak. Tapi aku menikmatinya.
Hingga di pertemuan terakhir sebelum libur panjang, dia masih terlihat sama. Masih memelukku seakan tak ingin lepas. Tapi kali ini, aku merasakan pelukan yang berbeda. Pelukan yang begitu erat dan lama. Pelukan seakan ia tidak ingin kehilangan aku. Tapi tak pernah terpikir bagiku, inilah pelukan perpisahan. Ini menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Benar-benar yang terakhir.
Mendadak ia menghilang. Tanpa kabar tanpa jejak. Sulit bagiku untuk mencarinya. Membuatku khawatir akan keadaannya. Terlebih ia sempat bilang ia akan mengadakan perjalanan jauh. Apakah ini pertanda? Aku takut kehilangannya. Aku tidak sanggup hidup tanpa dirinya. Ini terlalu cepat bagiku. Perasaan ini sudah terlalu dalam untuk merasakan sakit karena kehilangan dirinya.
Akhirnya nafas lega bisa kuhembuskan setelah kulihat ia mengunggah fotonya di media sosial. Sungguh aku lega, paling tidak kutahu ia masih hidup. Tapi muncul pula tanda tanya besar di hatiku. Kenapa dia tidak mencoba menghubungi aku? Apa ia tidak kangen? Ada apa ini? Aku benar-benar takut keraguanku yang dulu akan menjadi kenyataan. Kuingat lagi pelukannya yang terakhir. Aku tidak melihat gerak-gerik ia akan mempermainkan aku. Justru ketulusan yang aku lihat. Terlalu kontras bagiku antara apa yang terjadi di saat terakhir kali bertemu dengan apa yang terjadi saat ini. Ada apa dengan dirinya? Sejahat inikah dia padaku? Membuat perasaanku jatuh terlalu dalam dan membiarkan aku tenggelam di dalamnya.
Arahku semakin tak menentu. Sungguh perasaan ini benar-benar menyiksa batinku. Menahan segala rasa penasaran yang tidak kunjung terjawab. Aku pun marah pada diriku sendiri karena telalu bodoh untuk memiliki perasaan sedalam ini dengan seseorang baru tiga minggu kukenal.
Aku tak mampu lagi membendung perasaan yang membuatku mengidap insomnia, hingga akhirnya aku menceritakan keluh kesahku tentangnya kepada sahabatnya. Tak kuduga, sahabatnya pun bingung dengan sikapnya yang berubah 180 derajat. Tak pernah ia berperilaku seperti itu pada seorang wanita. Kami pun bertingkah bak detektif. Merangkai berbagai clue yang kami temukan. 
 Yang sekiranya mampu menuntunku pada sebuah alasan kenapa dia tiba-tiba menghilang. Kenapa dia tiba-tiba melangkah mundur dan memilih melepaskan aku.
Dari berbagai kata kunci yang ada, terbentuk sebuah cerita yang membawaku pada peristiwa dimana aku mendaratkan pukulanku di atas kepalanya. Pertemuan kedua.
Mungkin dia marah ketika itu tapi tidak diungkapkan dengan semestinya. Masih jelas di ingatanku, dia justru memeluk dan menciumku pertanda sayang di kamar kecilnya. Aku pun bisa merasakan kasih sayang itu. Tulus. Sangat tulus. Tapi siapa sangka ternyata ia lebih memilih mundur perlahan.
Baginya kepala adalah segalanya. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh bahkan memukul kepalanya. Itu akan sangat menghinanya. Dan itulah yang menjadi prinsip hidupnya selama ini. Konyolnya, aku melanggarnya. Melukai perasaannya yang membuat ia akhirnya memilih mundur dan melepaskan aku.
Aku pun memukulnya bukan tanpa alasan. Penyakit ini alasannya. Sedari SMA aku mengidap penyakit yang sebenarnya tak bisa disembuhkan. Aku memiliki kelemahan pada jantung dan anemia tingkat akut. Dokter telah berupaya sebisa mungkin, namun aku tetap tidak bisa sembuh total. Dengan membawaku pergi di atas kecepatan angin, bisa membuat penyakit ini muncul seketika.
Aku tak ingin ia tahu. Aku hanya ingin ia mencintaiku apa adanya, bukan karena kasihan. Aku memang lemah tapi aku tidak butuh belas kasihan. Pukulan itu cukup membuatku menutupi penyakitku tapi sekaligus membuatnya berhenti memilikku.
Tetap saja, bagiku ini konyol. Jatuh cinta dalam waktu yang begitu singkat dan dilepaskan dengan alasan yang tersirat.
Kupastikan ia tak akan pernah siapa aku sebenarnya, apa yang terjadi denganku. Karena memang lebih baik begitu. Kurasa, ia tahu ataupun tidak, tidak akan membuat keadaan berubah. Aku mencintainya. Dia mencintaiku. Tapi dia bukan untukku dan aku pun bukan untuknya.

- V.A.D-