background

Kamis, 10 September 2015

Hi! I'm Dian. Who Are You?

Halo!
Sudah lama saya tidak update blog ini. Mungkin akan saya mulai dengan memperkenalkan diri saya, karena bertahun-tahun saya menggunakan blog ini, belum sekalipun saya memperkenalkan siapa diri saya. So, check this one out.
Nama lengkap saya adalah Vinsensia Ariesta Dianawanti. Penggalan kata dalam nama lengkap saya memiliki makna tersendiri. 'Vinsensia' adalah nama baptis yang biasa digunakan umat Katholik-karena saya beragama Katholik-setelah di baptis. 'Ariesta' diambil dari zodiak saya, yaitu Aries, karena saya lahir di bulan April. Sedangkan 'Diana' memiliki arti cahaya dalam bahasa Jawa sekaligus menjadi panggilan saya sehari-hari. Dan 'Wanti' adalah akronim dari nama kedua orangtua saya.
Berbicara soal nama panggilan, saya memiliki nama panggilan yang berbeda di tiap lingkungan sosial. Di rumah, saya biasa dipanggil 'Dian', ketika SMP saya dipanggil 'Riesta', dan di tempat les saya dipanggil 'Vinsen'. Bagi saya, terserah orang mau memanggil saya apa, selama kata tersebut ada dalam nama lengkap saya.
Saya lahir di Jakarta, 5 April 1995. Dan beginilah saya kurang lebih ketika pertama kali melihat dunia ini.
ketika saya baru lahir-5 April 1995
Ya! Ketika baru lahir saya memiliki kulit yang putih bersih. Namun, seiring berjalannya waktu, matahari membuat kulit saya menjadi berwarna, begitu pula dengan kehidupan saya :)
Kedua orangtua saya-bersyukur-masih sehat sehingga masih mampu membiayai saya kuliah dan adik saya sekolah. Ayah saya saat ini bekerja sebagai kepala pabrik baja ringan di kawasan Cisauk, Parung. Dulunya, ia adalah seorang nelayan ikan di kapal besar yang mampu membawanya singgah di belahan dunia yang lain. Namun, nenek meminta ayah saya untuk turun kapal karena beberapa alasan. Kecintaannya pada dunia perikanan membuat ia rutin mengajak adik saya memancing di akhir minggu. Hal ini ia lakukan untuk melepas penat setelah seminggu beraktivitas di kantor.
Sedangkan ibu saya, adalah seorang guru. Saat ini ia menjabat sebagai wakil kepala sekolah di salah satu SMP di Pamulang. Jauh sebelum menjadi guru, ibu saya berprofesi sebagai jurnalis penerbangan yang membuat ia mengabdikan dirinya pada Majalah Angkasa selama lebih dari 15 tahun. Mungkin hal ini yang membuat saya tertarik dan cinta pada dunia jurnalistik. Sehingga ungkapan 'buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya', memang benar adanya.
Saya seharusnya memiliki dua orang adik, perempuan dan laki-laki. Namun, sang bungsu hanya diizinkan melihat dunia ini selama tujuh jam oleh Tuhan, dan kemudian diminta kembali pulang. Sekarang saya tinggal memiliki saudari perempuan, bernama Ayu. Kami terpaut lima tahun. Jarak yang cukup aman bagi sebuah keluarga dalam memiliki keturunan. Kini ia sedang menjalani studi di bidang perhotelan di salah satu SMA di Jakarta. Ia bercita-cita untuk menjadi chef kapal pesiar, yang bisa membawanya keliling dunia. Seringkali orang-orang tertukar ketika memanggil nama kami. Katanya wajah kami begitu mirip hingga sulit dibedakan. Bahkan untuk orang yang baru pertama kali melihat kami, kami disangka adalah saudara kembar.
Itulah sekilas tentang keluarga kecil saya, yang sebenarnya memiliki badan yang tidak kecil :)
Ketik saya dan keluarga berlibur ke Bali
Sejak kecil saya sebenarnya phobia terhadap anjing. Giginya yang tajam membuat saya takut untuk berinteraksi dengan hewan setia ini. Ketika anjing mulai menggonggong, tangan saya bisa gemetar tanpa henti seharian. Namun, saya melihat semua sepupu saya memiliki anjing, saya tertarik untuk memiliki anjing juga. Selama beberapa tahun, orangtua saya melarang saya memiliki anjing karena alasan tidak enak dengan para tetangga yang mayoritas adalah musim. Terlebih, rumah saya bersebelahan langsung dengan mushola. Alhasil, saya selalu diberikan peliharaan hewan pengerat, seperti marmut, hamster, dan kelinci. Beberapa kali hamster saya menghasilkan keturunan. Karena tidak paham cara merawat bayi hamster, akhirnya bayi hamster mati. Saya pun terus berusaha membujuk kedua orangtua saya untuk memelihara anjing. Hasil bujukan saya membuat seekor anjing jenis tekel jantan yang diberi nama Jack
Ayu dan Jack
Semenjak saya memelihara Jack, saya bisa menghilangkan phobia anjing saya. Suatu hari, ibu saya membawa pulang seekor anjing Chihuahua kecil yang diberi nama Chiko. Ibu saya menemukannya di pinggir jalan. Sepertinya dia pergi dari rumahnya. Semenjak itu, kami sekeluarga memelihara Chiko hingga saat ini. Jack terpaksa saya berikan kepada orang lain karena suatu alasan. Dan saat ini saya memelihara empat ekor anjing yang setia menjaga rumah saya. 

Brownies
Mini - Metro
Chiko
Saat ini, saya sedang menempuh studi sarjana dengan mengambil fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan Jurnalistik di UMN. Kenapa memilih UMN? Alasannya cukup sederhana, karena dekat dari rumah saya. Saya sudah cukup lelah menempuh perjalanan panjang dari Pamulang-Lebak Bulus selama SMA. Saya harus berangkat dan pulang dalam keadaan gelap akibat kesibukan saya di sekolah selain belajar, yakni bermain futsal. Kehidupan saya di SMA, saya isi dengan bermain futsal yang membuat saya begitu jatuh hati pada olahraga yang satu ini. Apapun saya lakukan demi saya bisa bermain futsal dan bertanding di luar sekolah.
Namun, kecintaan saya ini terhenti di SMA. Memasuki dunia perkuliahan, membuat saya berpikir berkali-kali untuk melakukan olahraga di malam hari. Sehingga saya memilih untuk mengikuti salah satu media kampus, yakni UMN Radio.
Karier saya di UMN Radio berawal dari reporter. Saya beberapa kali ditugaskan untuk liputan ke berbagai tempat. Hal ini menambah pengalaman saya dalam berbicara terutama mewawancarai narasumber. Sehingga ketika mengerjakan tugas kuliah yang sejenis, tidaklah sulit.
Setahun setelahnya, saya diterima sebagai penyiar dan membawakan daily program. Tak lama setelah itu, saya dipercaya untuk siaran di program malam "Love Clinic" bersama dua teman saya yang lain. Pada pergantian kepengurusan UMN Radio, saya ditunjuk sebagai Koordinator Liputan. Saya memiliki sembilan reporter yang melakukan peliputan langsung dan tidak langsung setiap harinya. Pengalaman saya menjadi reporter dan korlip, bisa saya aplikasikan dalam dunia perkuliahan.
Banyak dari teman saya yang mengambil jurusan jurnalistik seperti saya, tidak ingin bekerja sebagai seorang jurnalis. Dengan alasan gaji jurnalis yang kecil namun pekerjaannya cukup berat. Namun hingga kini, saya masih bertekad untuk menjadi seorang jurnalis di media internasional.
Liputan May Day 2015
Itulah sekilas tetapi panjang tentang diri saya. Masih ada banyak hal yang sebenarnya bisa saya bagikan. Sebelum memasuki dunia perkuliahan, saya sudah tahu bahwa jurnalis adalah hidup saya. Tidak ada salahnya mengenali diri sendiri sejak dini dengan mencoba berbagai macam hal. Karena dunia ini terlalu singkat untuk mengetahui segalanya, manfaatkan waktu yang kalian punya. See you :)

Selasa, 10 Februari 2015

SEKILAS MEMBEKAS

Tak pernah terbayangkan bahwa dia yang akan mengisi ruang kosong itu. Selama tiga bulan kita bertemu, tak pernah ada kata sapa di setiap Selasa pagi. Hanya tahu wajah tanpa peduli akan identitas. Berbagai pertemuan perkuliahan dilalui tanpa suatu hal yang berarti. Hanya mendapat secerca ilmu dan membubuhkan tanda tangan absen pertanda hadir di setiap akhir perkuliahan.
Suatu saat, kami bertemu di lantai paling atas. Dia sibuk mengambil gambar bersama temannya, sementara aku melonjak kegirangan ketika keluar lift, persis seperti sepupuku yang baru berhasil belajar berjalan. Sialnya, langkahku terhenti dengan sebuah kalimat “Ini nih yang bikin skripnya. Nyusahin aja.” Aku menatap ragu.
“Oh! Jadi lu yang bikin skrip. Ngga bisa lebih susah lagi?” tanyanya.
“Emang kenapa? Ngga suka. Salah sendiri baru dikerjain H-1,” balasku sambil pergi meninggalkan mereka.
Hari berikutnya adalah hari presentasi. Semua orang berlomba menampilkan karya terbaiknya depan dosen yang menurutku kelewat nyentrik. Dia, cowo yang ngomel tentang skripku kemarin, maju dengan laptopnya. Menampilkan dua video sekaligus. Miliknya dan milik temannya. Kesan kagum langsung tergores di pikiranku ketika credit title telah muncul. Dia memang pandai membuat karya visual semacam itu.
“Itu skripnya siapa?” tanya sang dosen.
Tanpa permisi dia menembakkan jarinya tepat mengenai mataku.
“Itu tuh yang pake kacamata. Siapa namanya?” katanya di depan kelas.
“Oh belom saling kenal. Kenalan dulu dong!” kata sang dosen yang di sambut dengan sorakan satu kelas.
Kami berdua sama-sama enggan memulai perkenalan itu di kelas. Aku masih merasa tidak terima dia mengomeliku kemarin.
Kelas pun usai. Namun, siapa sangka semua ini ternyata baru saja mulai, pada perkenalan kami secara langsung di depan koperasi kampus. Perkenalan itu seakan membukakan sebuah jalan bagi kami akan sebuah peristiwa besar. Peristiwa yang akan membawa perasaan kami jatuh ke dalamnya.
Kupikir hanya perasaan sekilas lewat, namun semakin nyata ketika dia memanggil namaku dalam sebuah instant messaging. Percakapan maya itu terus bergulir dengan sendirinya. Berawal hanya dari sekedar menanyakan tugas kuliah hingga akhirnya kami menceritakan kisah hidup kami masing-masing. Bahkan kami mampu menertawakan kebodohan kami masing-masing dalam pesan itu.
Suatu hari ia menemaniku membeli peralatan kuliah yang menurutku cukup konyol. Ia menawarkan diri untuk menemaniku membeli kertas yang besarnya mampu membungkus tubuhku di kala dingin menyapa. Sayangnya, tawaran itu tidak gratis. Aku lupa bahwa tak ada yang diberikan secara cuma-cuma di dunia ini. Aku harus menemaninya makan siang sebagai bayarannya. Tanpa kusadari, aku sudah mulai masuk ke dalam kehidupannya. Aku mulai tahu siapa dirinya dari setiap rangkaian kata yang keluar dari mulutnya.
Kami tak berhenti sampai di situ. Setiap pertemuan kami berakhir, selalu berlanjut dalam obrolan maya sepanjang malam. Hingga pada pertemuan berikutnya, ia membawaku di atas kecepatan angin. Membuatku mendaratkan pukulanku tepat di atas kepalanya. Menutupi segala kekurangan dan kelemahan yang kupunya. Seketika itu juga badanku lemas, namun aku berusaha menutupinya agar tumpahan darah dari hidungku, tak jatuh di kemeja cokelatnya.
Kemudian semua berjalan begitu saja, seperti tanpa ada masalah. Aku bisa merasakan kasih sayang yang luar biasa darinya. Terutama di saat ia mendaratkan ciumannya tepat di kepalaku ketika aku tertidur lelap di kamar kosnya. Itu membuatku nyaman. Sangat nyaman. Meski dalam hati masih ada keraguan yang tak mampu kuselesaikan.
 Tak pernah terbayang dalam pikiranku, aku akan mati di tangannya. Aku yang sedang tertidur pulas di kamarnya, mendadak merasakan sesak yang sangat menyakitkan di paru-paruku. Aku sangat sulit bernafas. Mungkin ini yang membuatnya panik dan menghentikan permainannya di komputer.
“Uhuk! Lu ngapain sih? Uhuk!” tanyaku di tengah sesakku.
“Ngrokok,” jawabnya dengan wajah ketakutan.
Tak habis pikir aku dengannya. Bisa-bisanya ia membakar tembakau di kamar kecil tak berventilasi itu. Ia pun buru-buru mematikan asap rokoknya yang akan membuatku semakin sesak jika terlalu lama dibiarkan terbakar. Ia panik. Tak tahu harus berbuat apa. Aku pun juga masih terus berusaha menutupi segalanya. Aku takut semuanya terbongkar. Aku takut dia tahu semuanya. Semua rahasia yang kujaga darinya. Aku takut kasih sayangnya tidak tulus lagi. Sebisa mungkin kutahan rasa sakitku.
Kepanikannya itu membawaku pada pelukannya. Pelukan yang sangat erat. Pelukan yang khawatir akan keadaanku. Pelukan yang sekiranya bisa membuatku jauh lebih tenang. Pelukan yang membuatku semakin sesak. Tapi aku menikmatinya.
Hingga di pertemuan terakhir sebelum libur panjang, dia masih terlihat sama. Masih memelukku seakan tak ingin lepas. Tapi kali ini, aku merasakan pelukan yang berbeda. Pelukan yang begitu erat dan lama. Pelukan seakan ia tidak ingin kehilangan aku. Tapi tak pernah terpikir bagiku, inilah pelukan perpisahan. Ini menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Benar-benar yang terakhir.
Mendadak ia menghilang. Tanpa kabar tanpa jejak. Sulit bagiku untuk mencarinya. Membuatku khawatir akan keadaannya. Terlebih ia sempat bilang ia akan mengadakan perjalanan jauh. Apakah ini pertanda? Aku takut kehilangannya. Aku tidak sanggup hidup tanpa dirinya. Ini terlalu cepat bagiku. Perasaan ini sudah terlalu dalam untuk merasakan sakit karena kehilangan dirinya.
Akhirnya nafas lega bisa kuhembuskan setelah kulihat ia mengunggah fotonya di media sosial. Sungguh aku lega, paling tidak kutahu ia masih hidup. Tapi muncul pula tanda tanya besar di hatiku. Kenapa dia tidak mencoba menghubungi aku? Apa ia tidak kangen? Ada apa ini? Aku benar-benar takut keraguanku yang dulu akan menjadi kenyataan. Kuingat lagi pelukannya yang terakhir. Aku tidak melihat gerak-gerik ia akan mempermainkan aku. Justru ketulusan yang aku lihat. Terlalu kontras bagiku antara apa yang terjadi di saat terakhir kali bertemu dengan apa yang terjadi saat ini. Ada apa dengan dirinya? Sejahat inikah dia padaku? Membuat perasaanku jatuh terlalu dalam dan membiarkan aku tenggelam di dalamnya.
Arahku semakin tak menentu. Sungguh perasaan ini benar-benar menyiksa batinku. Menahan segala rasa penasaran yang tidak kunjung terjawab. Aku pun marah pada diriku sendiri karena telalu bodoh untuk memiliki perasaan sedalam ini dengan seseorang baru tiga minggu kukenal.
Aku tak mampu lagi membendung perasaan yang membuatku mengidap insomnia, hingga akhirnya aku menceritakan keluh kesahku tentangnya kepada sahabatnya. Tak kuduga, sahabatnya pun bingung dengan sikapnya yang berubah 180 derajat. Tak pernah ia berperilaku seperti itu pada seorang wanita. Kami pun bertingkah bak detektif. Merangkai berbagai clue yang kami temukan. 
 Yang sekiranya mampu menuntunku pada sebuah alasan kenapa dia tiba-tiba menghilang. Kenapa dia tiba-tiba melangkah mundur dan memilih melepaskan aku.
Dari berbagai kata kunci yang ada, terbentuk sebuah cerita yang membawaku pada peristiwa dimana aku mendaratkan pukulanku di atas kepalanya. Pertemuan kedua.
Mungkin dia marah ketika itu tapi tidak diungkapkan dengan semestinya. Masih jelas di ingatanku, dia justru memeluk dan menciumku pertanda sayang di kamar kecilnya. Aku pun bisa merasakan kasih sayang itu. Tulus. Sangat tulus. Tapi siapa sangka ternyata ia lebih memilih mundur perlahan.
Baginya kepala adalah segalanya. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh bahkan memukul kepalanya. Itu akan sangat menghinanya. Dan itulah yang menjadi prinsip hidupnya selama ini. Konyolnya, aku melanggarnya. Melukai perasaannya yang membuat ia akhirnya memilih mundur dan melepaskan aku.
Aku pun memukulnya bukan tanpa alasan. Penyakit ini alasannya. Sedari SMA aku mengidap penyakit yang sebenarnya tak bisa disembuhkan. Aku memiliki kelemahan pada jantung dan anemia tingkat akut. Dokter telah berupaya sebisa mungkin, namun aku tetap tidak bisa sembuh total. Dengan membawaku pergi di atas kecepatan angin, bisa membuat penyakit ini muncul seketika.
Aku tak ingin ia tahu. Aku hanya ingin ia mencintaiku apa adanya, bukan karena kasihan. Aku memang lemah tapi aku tidak butuh belas kasihan. Pukulan itu cukup membuatku menutupi penyakitku tapi sekaligus membuatnya berhenti memilikku.
Tetap saja, bagiku ini konyol. Jatuh cinta dalam waktu yang begitu singkat dan dilepaskan dengan alasan yang tersirat.
Kupastikan ia tak akan pernah siapa aku sebenarnya, apa yang terjadi denganku. Karena memang lebih baik begitu. Kurasa, ia tahu ataupun tidak, tidak akan membuat keadaan berubah. Aku mencintainya. Dia mencintaiku. Tapi dia bukan untukku dan aku pun bukan untuknya.

- V.A.D-

Minggu, 25 Januari 2015

Imperfect Doesn't Mean Can't Be Perfect

Setiap orang memiliki alasan kenapa ia dilahirkan ke dunia ini. Memiliki sebuah tujuan dengan konsep yang telah Tuhan ciptakan. Kita hanya bisa menerima tanpa bisa mengelak dari kenyataan yang ada.
Setiap orang menginginkan kehidupannya sempurna. Menjalani kehidupan tanpa kekurangan suatu apapun. Tanpa beban dan tanpa tekanan. Tapi ini hidup, bukan game online yang menggunakan cheat untuk menghindar dari permasalahan yang ada.
Kesempurnaan hidup bukan terkait materi semata, persoalan cinta dan fisik menjadi sangat pelik ketika materi tak mampu menyelesaikannya. Setiap orang pasti menginginkan materi, cinta, dan fisik yang sempurna. Tapi cerita dongeng pun tak mampu memberikan itu.
Kita hanya mampu menjalani dan memaknai kehidupan yang ada. Terus berusaha memupuk masa depan di tengah segala keterbatasan yang ada. Dan mungkin inilah yang aku pelajari dari seorang tukang parkir bernama Asep.
32 tahun sudah ia hidup di tengah keterbatasan fisik yang ia miliki. Ia dilahirkan ke dunia ini tanpa fisik yang normal. Berbagai cemoohan dan gunjingan orang menjadi makanannya sehari-hari. Namun, ia tidak peduli. Tuhan memang menciptakan tidak sempurna secara fisik. Tapi apakah ia juga harus menjalani kehidupan yang tidak sempurna? Ia percaya bahwa Tuhan memiliki suatu rencana indah bagi hidupnya.
Ia terus berusaha di tengah ketidaksempurnaannya, hingga ia menyelesaikan pendidikan STM atau setara dengan SMA. Di jaman sekarang memang pendidikan SMA tidak mampu mendorong kehidupan menjadi lebih baik. Tapi paling tidak, ia telah menempuh pendidikan selama 12 tahun. Ia pernah mencicipi dunia pendidikan.
Selama dua tahun belakangan ini, ia menjalani profesi sebagai tukang parkir atau biasa disebut polisi 'cepek' di sebuah gang kecil di kawasan Pamulang. Berbagai pekerjaan ia lakoni demi menyambung hidup. Mulai dari menjadi tukang parkir, kuli bangunan, hingga menjadi seorang figuran sebuah FTV edisi bulan Ramadhan. Dalam FTV itu, ia berperan sebagai preman yang tangannya dibacok oleh massa dan akhirnya menjadi cacat. Peran sederhana ini, membawa ia bertemu dengan beberapa artis ternama, seperti Komeng dan Dhini Aminarti. Hal ini menjadi sebuah kebanggan bagi Asep yang hanya rakyat biasa.
Pendapatannya sebagai tukang kecil terhitung cukup bagi Asep. Sekitar Rp30.000,- hingga Rp50.000,- tergantung dari ramai atau tidaknya kendaraan yang lewat di gang itu. Sebagian penghasilannya, selalu berusaha ia tabung untuk membeli rumah bagi dirinya. Pasalnya, kini ia tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah yang sangat sederhana.
Asep hanya tinggal bersama ayahnya sejak ibunya meninggal lima tahun lalu akibat komplikasi. Keenam saudaranya yang lain telah berumah tangga dan memiliki kehidupannya sendiri.
Perihal soal percintaannya menjadi salah satu permasalahan yang cukup pelik dalam hidupnya. Ia ingin membina rumah tangga bersama orang yang ia cintai. Namun, apa daya. Keterbatasan fisiknya membuat kadang wanita berpikir ribuan kali untuk menjadi pendamping hidupnya. Asep sadar bahwa keterbatasan fisiknya tidak memungkinkan untuk memiliki pendamping hidup yang sesuai, sehingga Asep pun tidak pernah memaksakan diri untuk memiliki pasangan hidup.
Mungkin ia gagal dalam soal percintaan. Tapi siapa sangka bahwa Asep mampu mengendarai motor dan mobil dengan transmisi manual. Bahkan ia pernah mengendarai motor sendiri menuju daerah Pandeglag, Banten.
Semangat yang dimiliki Asep membuat aku cukup bersyukur. Banyak hal yang dapat dipelajari melalui obrolan santai selama seharian penuh itu. Tidak terlihat ekspresi menyesal dari wajah Asep akan keterbatasan yang ia miliki. Semangat dan sikap visionernya dalam menjalani hidup, memacu semangatku untuk tidak mudah menyerah.
Terkadang apa yang kita lihat tidak sama dengan yang sebenarnya. Yang terlihat tak sempurna, memiliki makna yang luar biasa dalam setiap usaha.
Give your best for your life. Because imperfection doesn't mean can be perfect

-The End-